PATRIOTNUSANTARANEWS.COM | JAKARTA – Memasuki penghujung tahun 2025, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) merilis refleksi kritis bertajuk Catatan Akhir Tahun sebagai bentuk pengawalan terhadap marwah otonomi daerah.(30/12/2025)
Di tengah momentum kepemimpinan baru pasca-pelantikan kepala daerah serentak, Apkasi memandang bahwa otonomi daerah kini berada di persimpangan jalan yang krusial akibat tren “sentralisasi terselubung” melalui berbagai regulasi sektoral yang kian mempersempit ruang diskresi di tingkat kabupaten.
Ketua Umum Apkasi, Bursah Zarnubi, menegaskan bahwa otonomi daerah bukanlah sekadar urusan administratif bagi-bagi kekuasaan, melainkan mandat sejarah untuk mendekatkan negara dengan rakyatnya. Menurutnya, pengalaman historis Indonesia membuktikan bahwa pemusatan kekuasaan cenderung melahirkan ketimpangan dan inefisiensi birokrasi yang merugikan masyarakat di daerah.
“Otonomi daerah adalah napas terakhir dari agenda Reformasi 1998 yang harus kita jaga. Kami melihat sepanjang 2025, ada kecenderungan kebijakan nasional yang kian rinci mendikte daerah, sementara diskresi bupati semakin sempit. Indonesia hanya bisa maju jika daerah diberi kepercayaan dan keadilan fiskal, bukan sekadar dijadikan pelaksana administratif pusat yang menanggung beban tanpa kewenangan,” tegas Bursah Zarnubi yang juga Bupati Lahat ini.
Tekanan Fiskal dan Paradox Kewenangan
Apkasi mencatat bahwa sepanjang 2025, pemerintah kabupaten menghadapi tekanan fiskal hebat akibat pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD). Kondisi ini menciptakan paradoks: daerah dituntut memenuhi Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang tinggi, namun ruang fiskalnya terus dipersempit.
Krisis kewenangan ini kian nyata dalam pengelolaan kapasitas fiskal daerah. Apkasi mencatat bahwa tahun 2025 ditandai oleh semakin kuatnya tekanan finansial akibat penyesuaian Dana Alokasi Umum (DAU) dan ketidakpastian realisasi Dana Bagi Hasil (DBH). Sebagai solusi, Apkasi mendesak pemerintah pusat untuk melakukan penataan ulang kebijakan transfer ke daerah agar lebih transparan dan mencerminkan kontribusi riil daerah terhadap penerimaan negara.
Keadilan fiskal ini sangat krusial mengingat daerah kini dihadapkan pada beban belanja wajib yang melonjak, termasuk pembiayaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Apkasi secara tegas mengusulkan agar gaji dan tunjangan PPPK sepenuhnya dibebankan kepada APBN sebagai bagian dari kebijakan nasional, guna menjaga stabilitas pembangunan dan pelayanan publik di tingkat kabupaten yang kini ruang fiskalnya kian sesak.
*Pelajaran Penting dari Tragedi Banjir-Longsor Sumatera*
Ketimpangan kewenangan ini juga menemukan potret memilukan dalam rangkaian bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Merujuk data resmi BNPB, dampak bencana ini mencatat angka katastropik: 1.140 jiwa meninggal dunia, 163 jiwa hilang, dan 399,2 ribu warga mengungsi. Kerusakan infrastruktur mencakup 166.925 rumah rusak, 97 jembatan putus, serta ribuan fasilitas umum, pendidikan dan kesehatan yang terdampak parah.
“Kita melihat duka mendalam di Aceh, Sumut, dan Sumbar. Data-data resmi pemerintah menunjukkan gambaran betapa dahsyatnya dampak yang harus ditanggung daerah terdampak bencana. Namun ironisnya, pemerintah kabupaten seringkali tak berdaya melakukan pencegahan karena kewenangan pengelolaan hutan dan izin tambang di hulu berada di tangan pusat. Daerah menanggung risiko dan nyawa rakyatnya, tapi tidak punya kuasa atas kebijakan hulunya. Ini ketimpangan struktural yang harus segera dikoreksi,” tegas Bursah Zarnubi.
Apkasi menilai ini adalah alarm keras mengenai paradox kewenangan, di mana daerah berada di garis terdepan saat bencana namun tidak memiliki kuasa atas kebijakan hulu seperti izin tambang dan pengelolaan hutan. Merespons duka tersebut, Apkasi bergerak cepat mewujudkan solidaritas melalui program Apkasi Peduli Bencana. Menindaklanjuti imbauan Menteri Dalam Negeri, Apkasi memobilisasi gotong royong dari pemerintah kabupaten anggota, mitra kerja, hingga masyarakat umum untuk menyalurkan bantuan kemanusiaan secara langsung.
*Integritas dan Sistem Tata Kelola Pemerintahan*
Merespons dinamika hukum, khususnya kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang menimpa sejumlah kepala daerah, Apkasi berpandangan bahwa fenomena ini tidak dapat dilihat semata sebagai kesalahan individual. “Kami menegaskan dukungan terhadap penegakan hukum. Namun, Apkasi memandang fenomena ini tidak lepas dari persoalan sistemik, regulasi yang tumpang tindih dan tekanan politik tinggi,” ujar Bursah.
Sebagai langkah konstruktif, Apkasi mendorong penguatan ekosistem integritas yang mengedepankan pencegahan di atas penindakan. Solusi yang ditawarkan adalah penguatan sistem pengawasan internal, pendampingan tata kelola yang berkelanjutan oleh KPK, serta penyederhanaan regulasi agar kepala daerah memiliki kepastian hukum dan tidak terjebak dalam kerentanan struktural saat mengeksekusi inovasi pembangunan.
Menutup catatan tahun ini, Apkasi juga memberikan atensi pada dinamika politik lokal pasca-Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024. Apkasi mendesak pemerintah segera menyiapkan payung hukum transisi yang jelas demi menjamin stabilitas pemerintahan selama masa jeda pemilu nasional dan daerah. Kejelasan mengenai status kepala daerah dan mekanisme penunjukan penjabat (Pj) sangat krusial untuk menjamin roda pemerintahan tetap stabil dan berkelanjutan selama masa transisi.
Melalui refleksi ini, Apkasi berkomitmen tetap menjadi perisai bagi 416 kabupaten demi mewujudkan otonomi daerah yang adil, bersih, dan bermartabat. Apkasi berkomitmen untuk terus menjadi mitra kritis pemerintah pusat, memastikan bahwa suara daerah bukan sekadar pelengkap, melainkan penentu arah kemajuan bangsa.(Arfn)







