PATRIOTNUSANTARANEWS.COM | JAKARTA – Upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air telah berjalan hampir satu abad sejak Indonesia merdeka.
Komitmen untuk terus mendorong langkah masif pemberantasan korupsi itu kembali dilakukan selama kurang lebih dua dekade terakhir melalui pendekatan represif berbasis pemidanaan penjara.
Namun, dalam praktiknya, paradigma pemberantasan korupsi yang mengandalkan pada penghukuman berbasis kurungan ini nyatanya tidak mampu memberikan efek jera yang meyakinkan.
Masyarakat cenderung memandang penjara sebagai simbol keadilan dan efek jera tertinggi bagi koruptor. Sementara, dalam kenyataannya, hukuman penjara sama sekali belum mampu menjawab persoalan mendasar korupsi, yakni pemulihan kerugian negara dan pencegahan kejahatan yang berulang.
Apa yang selama ini kita pahami soal efektivitas pemenjaraan tubuh sang pelaku korupsi tidak sepenuhnya menjawab akar persoalan itu sendiri.
Negara dalam realitasnya bahkan sering kali hanya menang secara moral, karena berhasil menangkap koruptor, tetapi yang tidak kalah penting adalah bagaimana mengembalikan kerugian negara itu sendiri.
Dalam banyak kasus, koruptor yang berhasil menjarah “duit” negara hingga triliunan rupiah hanya menebus beberapa persen saja, dan sisanya entah ke mana.
Dalam konteks inilah, perlunya gagasan penerapan denda damai sebagai alternatif penindakan pidana yang sejauh ini diyakini belum mampu memberikan solusi berarti.
Perlu digarisbawahi bahwa denda damai bukanlah bentuk pemakluman terhadap korupsi itu sendiri, sebagaimana yang saat ini disalahpahami sebagian publik.
Akan tetapi, pendekatan ini merupakan sebuah upaya rasional untuk menggeser fokus penegakan hukum dari yang semula hanya memusatkan pada skema penghukuman ke arah pemulihan, efisiensi, dan keadilan substantif.
Alhasil, bertolak dari paradigma baru inilah, penting untuk men-challenge cara pandang lama yang terbukti gagal menjawab permasalahan korupsi serta menuntut kesiapan hukum, aparat, hingga pemahaman publik atas pendekatan baru ini.
Alasan dan Urgensi
Bagi sebagian masyarakat, pendekatan denda damai barangkali masih cenderung “abu-abu” sehingga perlu diperjelas apa makna dan pemberlakuannya dalam konteks penindakan pidana korupsi.
Denda damai sederhananya dipahami sebagai mekanisme penyelesaian perkara tindak pidana tertentu (khususnya korupsi) melalui pembayaran sejumlah uang pengganti dan/atau denda administratif yang disepakati negara, tanpa harus berujung pada penjeblosan ke dalam penjara.
Secara konsep, mekanisme ini menempatkan pemulihan kerugian negara sebagai tujuan utama, bukan sekadar penghukuman tubuh atau badan.
Dalam praktik global, paradigma ini seringkali diasosiasikan dengan deferred prosecution agreement (DPA) atau juga dikenal dengan istilah non-prosecution agreement (NPA) yang saat ini telah banyak diterapkan di berbagai negara maju.
Secara normatif, wacana tentang denda damai di Indonesia bermuasal pada beberapa landasan hukum yang berlaku.
Pertama, dari sisi prinsip ultimum remedium dalam hukum pidana Indonesia, yang menempatkan pemidanaan penjara sebagai langkah terakhir. Artinya, penjara bukan satu-satunya solusi dari proses pemidanaan itu sendiri.
Kedua, jika kembali mencermati ketentuan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) maka di sana dikenal yang namanya konsep pidana denda, uang pengganti, dan perampasan aset sebagai instrumen pemulihan kerugian negara.
Ketiga, dalam konteks arah pembaruan hukum pidana nasional, termasuk dalam konteks ini termaktub di dalam KUHP dan kebijakan hukum pidana modern, yang menitikberatkan pada aspek keadilan restoratif dan efektivitas penegakan hukum.
Dengan demikian, alasan rasional pengaplikasian pendekatan denda damai ini terletak pada efektivitas dan efisiensi itu sendiri.
Bercermin pada kenyataan di lapangan, proses peradilan korupsi yang panjang, berbelit, mahal, dan kompleks tidak jarang berujung pada hasil yang tidak sebanding dengan pemulihan aset.
Bukti di lapangan menunjukkan bahwa pelaku yang telah dipidana penjara, tidak secara optimal mengembalikan kerugian negara.
Bertolak dari kelemahan tersebut, mekanisme denda damai diharapkan menjadi alternatif bagi negara dalam memperoleh kepastian pengembalian kerugian, mengurangi beban lembaga pemasyarakatan, serta menghemat biaya penegakan hukum.
Kesiapan SDM dan Sosialisasi Publik
Tentu, paradigma baru pemberantasan korupsi ini bergantung pada kesiapan sumber daya manusia aparat penegak hukum, baik itu dari sisi SDM penyidik, penuntut umum, hakim, hingga aparat pengelola aset negara.
Penerapan paradigma baru mau tidak mau menuntut adanya perubahan cara berpikir dari semula berorientasi penghukuman menuju pendekatan berbasis pemulihan dan kepentingan negara.
Tanpa kesiapan kognitif, mental dan kompetensi teknis, denda damai tentu saja tidak hanya gagal diterapkan, tapi juga berisiko disalahgunakan atau ditolak secara pasif oleh aparat sendiri.
Jika berkaca pada kapasitas aparat penegak hukum saat ini, perlu dilakukan pembekalan yang intensif terkait pemahaman seputar valuasi kerugian negara, audit forensik, perhitungan denda proporsional, sampai dengan mekanisme negosiasi hukum yang transparan dan akuntabel.
Pendekatan baru ini menuntut pemahaman hukum yang lebih komprehensif, mendalam dan lintas kompetensi.
Ini bukan lagi berbicara tentang ranah kerja hukum pidana konvensional, melainkan persilangan antara hukum, ekonomi, dan keuangan negara.
Karena itu, pelatihan khusus dan intensif disertai kebutuhan untuk pedoman teknis yang rinci menjadi prasyarat mutlak agar tidak menimbulkan persoalan baru berupa disparitas penerapan ataupun konflik kepentingan.
Termasuk yang tidak kalah penting adalah mengantisipasi persepsi liar dari masyarakat. Publik perlu sosialisasi dan edukasi seputar pemberlakuan paradigma baru ini.
Sosialisasi yang masif dan jujur menjadi langkah penting dan strategis untuk memperkenalkan mekanisme baru pemberantasan korupsi ini kepada khalayak luas.
Publik harus diberi pemahaman baru bahwa denda damai bukan pengampunan seperti yang disalahartikan beberapa pihak, tetapi ia merupakan strategi hukum untuk memastikan negara tidak terjebak dalam kerugian seperti yang telah dilakukan selama ini.
Akhirnya, penentuan akhir keberhasilan paradigma baru hukum ini terletak pada seberapa jauh konsep ini diterima masyarakat dan kemampuan pelaksana hukum dalam menerapkan aturan baru ini di lapangan.
Oleh: Yakub F. Ismail
Penulis adalah Direktur Eksekutif INISIATOR







